Minggu, 16 September 2012

Mati Untuk Narian part-5

    
       Hai hai hai hai ????
      Ketemu lagi nih bareng saya @sucianggraenii kali ini saya mau berbagi persepsi dengan kalian semuanya dulu dong ….

      Saya tau ko gimana rasanya mereka penulis yang selalu tekun untuk menyumbangkan pikirannya kedalam sebuah rangkaian kata yang menurutnya itu indah namun pada saat orang lain tidak menerima akan rasa kebanggaan yang didirinya dan tidak memberikan apresiasi hal itu akan membuat si penulis itu sedih dan merasa tidak dihargai.

      Oke kawan itu pun pernah saya rasakan sendiri dan saya bias menjalaninya jadi bagi siapun yang sedang ngalamin hal yang sama jangan pernah berkecil hati kawan, percayalah itu adalah awal dari karirmu di dunia tulis menulis, udahh ya curcolnya kita balik lagi ke MATI UNTUK NARIAN yang sama butuh perhatiannya dari kalian semua. Okee jadi pantengin terus yang ending ceritnya narian ini dijamin rame dan pasti kalian bakalan sadar deh makna yang sebenarnya itu apa dan pastinya mudah mudahan kalian jadi terinsfirasi deh buat memulai menulis walaupun dengan berbagai resikonya tapi apa salahnya kawan buat kita memulainya saja terlebih dahulu .

PART KE-5
Jreng jrenggg .........

Perbincangan itu yang pada ujungnya membuat Narian minder dan mengeluh rasanya ia tak pantas untuk menemui ibunya itu, ia takut dipermalukan akan kondisinya yang seba kekurangan apalagi pakaiannya yang tak pantas untuk dikenakan oleh seorang anak dari keluarga terpandang seperti iu Maryana itu. Sepanjang jalan yang ia tempuh dengan berjalan kaki sampai pada depan pintu rumah ibunya itu, tebesit pikiran untuk kembali pulang ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi saja. Ia lebih mau merawat kuburan neneknya saja , “aku kangen Ambu, aku ga pernah dipermalukan Ambu seperti ini. Ya  Tuhan aku takut akan kebahagiaan dalam hidupku ini, rasanya tak pantas kebahagiaanku ku dapatkan dari dengan tinggal bersama kedua orang tuaku. Aku  ga pantas terima orang tua yang begitu kaya seperti yang diceritakan ibu tadi”. Sampai  pada akhirnya ia benar-benar mau pulang, usahanya yang sampai enam hari tak menentu itu sia-sia saja. 
Seingatnya ia masih punya sisa bekal lima puluh ribu lagi rasanya tak mungkin sampai di Sukabumi, usahanya seperti dengan menjajakan diri menawarkana jasa mencuci piring sudah tak berlaku lagi. Ia berada di tempat yang tau namanya ia hanya mengikuti langkah kaki membawanya, disana tak ada warung berserakan, tak ada suplay makanan lagi untuk menahan rasa laparnya itu. Kini hidupnya semakin tak menentu. Tak ada lagi Neneng yang mau menemani harinya lagi, tak ada lagi Ambu yang tersenyum lagi padanya.

Sampai pada akhirnya hidupnya tinggal berbekalkan baju sederhana penuh penyesalan dan selalu basah dengan linangan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya sampai ia benar-benar tahu tak akan ada senyum lagi yang menghiasi harinya.

Udah baca semua partnya cerpen MATI UNTUK NARIAN kan? Ga ada yang kelwatkan ? sebenarnya bukan tujuan utama saya kalian membaca cerita dari cerpen karangan saya ini sih, tapi yang saya inginkan itu membuat kalian tergerak untuk menulis. Lihatlah kawan saya tahu jelas kalau cerpen ini jauh dari sempurna tapi saya berani buat ngepostingnya jadi kenapa kalian engga ???? 

                Yang mau share soal tulis menulis sambil belajar bareng saya bisa di follow @sucianggraenii https://twitter.com/sucianggraenii. atau engga add fb saya : http://www.facebook.com/profile.php?id=100003184168916 Okeeee sucianggraeni235@yahoo.com


Mati Untuk Narian Part-4


      Dibaca ga nih setiap part cerpennya MATI UNTUK NARIAN ???
   Curiga ga ada yang baca nih??  ga menarik yah tapi plisss walaupun gitu sempetin dong ngeapreasiin perhatian kalian buat cerpen sederhana ini.

 Ayolah ini PART KE-4 nya, baca yaaa sampe tuntas !!!
 Jreng jrenggg .........

“Bismilahirohmannirohim, aku udah mutusin neng aku mau ke Purwakerto. Aku  mau ketemu orang tuaku, nanti kalau aku udah ketemu aku akan ajak mereka tinggal disini untuk merawat Ambuku ya Neng, menurut kamu gimna keputusanku benrer ga ?” namun jawaban neneng “Neneng ga bias jawab apa-apa Nar, insyaalloh Neneng percaya itu yang terbaik insyaalloh Nar itu yang tebaik “ senym manis terpancar dari bibir manisnya Narian, tak pikir lama lagi persiapan sudah siap tinggal ia berpamitan kepada Neneng juga Pak lurah yang sudah mau menopang hidupnya dengan suapan nasi yang diantarkan bu lurah ke gubuknya itu setiap pagi dan sore.

Perjalanannya diawali dengan naik bis kota yang ditunggunya dari jam 5 pagi di depan jalan Munggahan sekitar 5 km dri gubuknya itu. Lelah memang yang Narian rasakan namun rasa lelahnya itu kalah saing dengan rasa yang menggebu untuk cepat sampai di Purwakerto. Dua hari perjalan ia lalui sampai akhirnya ia kehabisan uang, bekal uangnya yang hanya lima puluh ribu tak cukup untuk menghantarkannya kedepan pintu kebahagiannya, ia tak pernah kehabisan ide, ia pun berusaha mencari uang dengan cara menawarkan jasa mencuci piring di took-toko makanan yang ia baru tau namanya warteg itu. Tambahan uangpun ia kumpulkan sekitar seratus ribu “ alhamdulilah cukuplah !” lirih bahagia yang selalu terlontar dari mulut kecil Narian muda itu.

Perjalannya itu sampai enam hari, lama untuk mencari bekal uang. Sepanjang jalan ia terbayang muka Ambunya yang selalu tersenyum, ia terbayang saat masa kecilnya mengambil kayu bakar di hutan, “mungkin perjalannya tak sejauh sekarang ‘’ ucap Narian, tetapi rasanya ia sedang bernostalgia dengan kenangan lalunya itu “Ambu kini engkau telah bahagia di duniamu, Narian sudah besar Ambu, Narian sudah bisa bahagia sendiri Ambu, Narian kangen Ambu“ desahan suara diiringi helaan nafas Narian yang tersendak-sendak bercampur bau asap kendaraan mengiringi setiap langkah manisnya itu. Tiba di gang kecil kata supir bisnya itu “jalan ke Purwakerto Neng tinggal naik angkot warna biru putih aja ntar juga sampai”. Narian selalu mengingat-ingat akan pesan supir itu. Sampai ia temukan angkot tersebut dan lupanya ia tak bertanya terlebih dahulu jurusan kemana angkot tersebut melaju. Malikat mengiringi langkahnya tak ada yang menyangkanya ia turun tepat di pintu gerbang rumah mewah, ia jalan tak tentu arah .

Usaha Narian pun tak putus disitu, ia bertanya kepada seorang penjaga warung pinggiran, “maaf bu saya boleh tanya, ibu tau jalan Purwakerto no.67 ?”. “ya Neng boleh iya Neng ini jalannya , neng mau cari siapa ya ? rasanya ibu baru liat Neng, orang baru bukan ?” jawab ibu warung “saya sedang nyari ibu saya bu orangnya berkulit putih, hidunynya mancung, tingginya sekitar ibuan, kalau ga salah namanya bu Maryana, ibu kenal ?” Tanya balik Narian yang masih kebingungan itu. “oh Neng itu mah orang kaya, Neng salah orang kali, anaknya juga sudah pada kuliah Neng rumahnya juga selalu kosong jarang ada penghuninya” jawaban ibu warung yang semakin membuat Narian bingung “tapi bu, bener ko itu ibu saya ‘’ tegas Narian lagi “ya neng ibu itu memang baik hati saying anak jalan tapi saya tau ko siapa anak-anaknya itu mereka semua terpandang  Neng engga ada yang kaya Neng ini !” jawaban akhir ibu itu mebuat Narian semakin bingung lagi.

Menarik ga nih cerpennya ? mulai kerasa yah titik permasalahnnya apa, makanya pantengin terus postingan saya yah jangan sampe kalian ketinggalan cerpen part ke-5nya yaa disitu bakalan ketauan  akhir ceritanya gimana kawan :)

                Yang mau share soal tulis menulis sambil belajar bareng saya bisa di follow @sucianggraenii https://twitter.com/sucianggraenii atau engga add fb saya : suchi anggraeni http://www.facebook.com/profile.php?id=100003184168916. Okeeee  sucianggraeni235@yahoo.com

Mati Untuk Narian Part-3

 
   Haiiii ?????

   Kalian masih penasaran dengan part ke-3nya narian kan? makin kesini makin menarik kan?  Oh iya gimana udah biasa atau udah membiasakan menulis belum? Menulis itu mudah kan?

Udah ah cuap-cuapnya kita masuk ke part 3nya MATI UNTUK NARIAN yah !!!!1
Jreng jrenggg .........
          
  Semuanya dianggap telah berlalu bagai daun yang terbawa angin, tak ada jejaknya lagi akan kabar kedua orang tuanya. Sementara itu, keadaan mereka dilihat dari usia Ambunya yang semakin tua di ujung senja tinggal menanti ajal datang, Narian selalu menampakan wajah pasrah. Melihat Ambunya yang terkapar lemas, tergeletak di lantai yang beralaskan tikar di tengah rumah, ia hanya memberi abunya segelas teh dan bubur buatannya setiap pagi, siang dan sore. Tak mampu ia berikan obat untuk menopang rasa sakitnya yang diderita Ambunya itu, hari yang dilewatinya dengan rutin ia hitung dan ajal Ambunya pun terasa semakin jauh, terkadang ia berpikir jauh bahwa ia mengharapkan nenek tua itu cepat meninggal karena alasan ia tak kuasa menyaksikan penderitaan yang dialami nenek terkasihnya itu, namun disisi lain ia pun tak mau kehilangannya pula, jika dilihat ia hanya hidup berdua tak mau ia harus hidup sendirian.

Suasana pagi itu berbeda dari biasanya, suara kicauan burung yang saling bersahutan dengan suara ayam jantan yang biasanya ia dengar setiap pagi kini terasa sepi. Dan Pak sumadi pun yang biasanya rutin setiap pagi memberinya seberkas Koran untuk ia sebarkan ke kota tak ia lihat. Sekelebat cahaya yang saling mengisi pagi itu terasa aneh. “tak seperti biasanya !!, oh tuhan apa yang kurasakan perasaan yang menyayat-nyayat hati ini terasa peri, apalah tanda pagi ini untuk haru-hariku esok? Apakah ini awal semuanya ? “ Narian terus bertanya-tanya dalam hatinya atas apa yang ia rasakan. Ternyata memang betul sesaat ia membuka mata dilihatnya nenek tua yang sedang tersenyum itu menetesakan air mata yang penuh dengan keikhlasana. “cuppp ………… !” suara lirih membekukan suasana. Narian menyadari itu senyuman terakhir yang ia lihat dari neneknya itu.

Tak ada yang berbeda, harinya yang sepi tanpa sahabat karib ia lalui seorang diri sampai ia teringat kembali akan orang tuanya yang lalu telah mencarinya. Ia ingin lagi melihat orang tuanya itu. banyak usaha yang ia lakukan seperti dengan mencari-cari informasi ke kelurahan desa untuk mencari data orang asing yang pernah singgah di rumahnya sekitar 5 bulan terakhir lalu, sampai pada akhirnya ia menemukan klimaks datanya.

JALAN RAYA SENOPATI NO.67, PURWAKERTO  tercatat tebal jalan itu dikertas selembar yang diditipkan orang tuanya itu di kelurahan, mungkin orang tuanya itu menyadari bahwa suatu saat nanti hal ini akan terjadi pada puteri kecilnya itu. Ia bersih keras untuk menemui orang tuanya itu, namun sesaat sebelum ia benar-benar memutuskan untuk pergi ia deselimuti rasa bingung “ siapa yang akan menjaga kuburan Ambu kalau aku pergi ?” rasa wajar sebagai anak yang berbakti jelas melintasi pikirkannya. Tak  tahu apa yang harus ia putusankan, ia pun menceritakan akan keluh kesahnya pada Neneng tetangga jauhnya yang ia percaya menjadi sandaran keluh kesahnya setelah Ambunya meninggal.

“Neneng ngerti ko nar, Neneng juga ngerasain kalau lagi kangen sama emak bapak di Saudi, tapi Neneng juga ngerti ko Nar, kamu yang sabar ya Neneng ga bisa ngasih solusi apa-apa Neneng takut nyengsarain kamu Nar, kalau kata Neneg mah kamu ikutin hati kamu, insyaalloh itu pilihan yang paling bener, percaya ke Neneng ya Nar !”. Narian semakin bingung karena ia tak tau apa kata hatinya, ia hanya ingin menjaga kuburan neneknya untuk bukti ia sangat menghormati dan menyayanginya tetapi ia juga ingin sekali bertemu orang tuanya itu.


Menarik ga nih cerpennya ? makin kerasa yah titik permasalahnnya apa, makanya pantengin terus postingan saya yah jangan sampe kalian ketinggalan cerpen part ke-4nya yaa :)

                Yang mau share soal tulis menulis sambil belajar bareng saya bisa di follow @sucianggraenii https://twitter.com/sucianggraenii atau engga add fb saya : suchi anggraeni http://www.facebook.com/profile.php?id=100003184168916 . Okeeee sucianggraeni235@yahoo.com 

Mati Untuk Narian Part-2

Nih dia postingan saya buat ngelanjutin cerpen yang dulu, masih pada ingat kan MATI UNTUK NARIAN ? ini kawan ceritanya ….

PART KE -2
Jreng jrenggg ..........


       Langkahnya sampai di gubuk tua tempatnya tidur. Gubuk yang hanya berpetakan satu ruangan sempit, disitu mereka membagi susahnyan hidup berdua. Terdengar suara yang membisingkan telinganya Narian, ia tersentak melihat ada dua orang tua yang menangis di hadapan Ambunya itu. Ia mendengar lirih kalimat yang membuatnya meneteskan air mata pula “Nek izinkan anakmu ikut kami, percayakan masa depannya kepada kami, sungguh kami akan memberikanya kebahagia yang seharusnya ia dapatkan dari orang tuanya sendiri, kami sadari atas apa yang telah kami lakukan kepadanya tapi saat itu kami tak tau harus apa yang kami lakukan kecuali kami titipkan kepadamu, satu-satunya orang yang kami percayai”. Narian mencoba berbaik sangka kiranya itu hanya ucapa biasa saja, namun sesaat ia sampai di rumahnya ibu muda itu memeluknya erat. Tak ada pikiran yang melintas di otaknya Narian, ia hanya mengira perempuan muda itu ibunya yang tlah lama ia cari namun dengan tanpa raut muka bahagia. Pelu hangat yang ia dapatkan itu dibalasnya kembali dengan erat pula. Pelukan erat tersebut penuh cinta kasih tulus dari anak yang terbuang. 
Narian menangis, namun entah apa yang ia pikirkan disela-sela tangisannya ia pun tertawa terpingkal-pingkal tak jelas, semua orang yang ada merasa bingun begitupun kedua orang tua tersebut merasa heran atas apa yang terjadi pada Narian.
Pikirannya yang kosong, ia tak terlalu memperhatikan orng tua yang menangis itu ia hanya membayangkan sinetron yang ia tonton tadi malam bersama rekan karibnya. Ia merasa ikut serta di ceritanya merasa berada dalam sinetron  itu “ Ambu ! ini lucu sekali macam mana ada ibu yang tega membuang anaknya dan kemudian memungutnya kembali dari nenek tua seperti mu Ambu, sungguh konyolnya orang tua ini hahaha” ucapan dalam kemelut tangisan yang belum ia hapus dari matanya itu. Ibunya balik menjawab dengan nada perih atas ucapan Narian yang mengiris perasaanya itu “ Sayang percayalah aku ini ibumu tanyalah sama Ambumu ini sungguh percayalah sayang, akulah ibumu aku lah yang telah melahirkanmu !” potong ibu muda itu. Percakapan yang dimulai dari tangis berubah menegang rasa kesal yang menyelimuti hati Narian hilang sesaat kembali setelah ibu itu mencium  kening Narian. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, ia sadarai ia sangat merindungsn saat-saat seperti ini. 
Hidupnya yang begitu sederhana segala persoalan pun ia lewati saja. Begitupun dengan kejadian saat itu memang Narian seperti tak terlalu memperdulikannya namun dalam dirinya ia begitu sangat ingin percaya itu, dalam pikirannya ia merasa bahwa apa yang telah ia lakukan memang betul hal yang salah, namun itu satu-satunya cara untuk tak melukai perasaan Ambu. Menurutnya “Aku akan jauh lebih sakit dan kecewa jika ku harus melihat Ambuku yang ku sayang menangis karena ku percayai mereka dan aku memilih mereka”

Menarik ga nih cerpennya ? mulai kerasa yah titik permasalahnnya apa, makanya pantengin terus postingan saya yah jangan sampe kalian ketinggalan cerpen part ke-3nya yaa
                Yang mau share soal tulis menulis sambil belajar bareng saya bisa di follow @sucianggraenii  https://twitter.com/sucianggraenii atau engga add fb saya : suchi anggraeni http://www.facebook.com/profile.php?id=10 0003184168916. Okeeee  sucianggraeni235@yahoo.com